Perpustakaan Islam di zaman kekhalifahan telah memperkenalkan konsep katalog. Pada masa itu, buku-buku yang disimpan di perpustakaan telah diatur dan ditempatkan ke dalam genre dan kategori. Konsep itu ternyata hingga kini masih digunakan di perpustakaan modern.
radioalhamzar.com – Peradaban Islam pula yang menjadikan perpustakaan sebagai tempat untuk meminjam buku. Tak cuma sebatas itu, dar al-‘ilm pun menjadi tempat pertemuan dan diskusi. Perpustakaan di era kejayaan Islam juga menjadi sarana pertukaran ilmu antara guru dan muridnya.
Yang lebih mengagumkan lagi, perpustakaan Islam di zaman kekhalifahan telah memperkenalkan konsep katalog. Pada masa itu, buku-buku yang disimpan di perpustakaan telah diatur dan ditempatkan ke dalam genre dan kategori. Konsep itu ternyata hingga kini masih digunakan di perpustakaan modern.
“Perpustakaan memiliki peran dan posisi yang tinggi dalam masyarakat Islam di abad pertengahan,” tutur O Pinto dalam bukunya bertajuk The Libraries of the Arabs during the time of the Abbasids,’ in Islamic Culture. Menurutnya, hampir di setiap masjid dan lembaga pendidikan yang tersebar di dunia Islam, pada masa itu, dipastikan memiliki perpustakaan dengan jumlah buku yang melimpah.
Di perpustakaan itulah, papar Pinto, para pelajar menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Menurut Pinto, di Baghdad terdapat hampir 36 perpusatakaan umum sebelum kota metropolis intelektual itu diluluh-lantakkan pasukan tentara Mongol. Di pusat pemerintahan Abbasiyah itu juga terdapat ratusan pedagang buku dan penerbitan. Sangat wajar jika pada masa itu, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dan dunia Islam mampu menggenggam dunia.
Para penguasa pada era itu begitu mendukung berdirinya perpustakaan. Khalifah Al-Mutawwakil penguasa Dinasti Abbasiyah pada abad ke-9 M sempat memerintahkan berdirinya `zawiyat qurra bagi masyarakatnya yang gemar membaca. Tak cuma itu, bangunan perpustakaan pun dirancang dengan megah dan refresentatif.
Sejarawan Al-Muqaddasi menuturkan, Adhud al-Daula (wafat 983 M) mendirikan sebuah perpustakaan yang megah di Shiraz. Perpustakaan itu berdiri di sebuah kompleks yang nyaman; dikelilingi taman, danau, dan aliran air yang menenangkan pikiran. Gedungnya diatapi kubah. Tak kurang dari 360 ruangan disediakan untuk menyimpan buku berdasarkan kategorinya.
Dalam buku berjudul The Rabic Book karya Yaqut Mu’jam yang diterjemahkan G French disebutkan di Kota Merw, di wilayah Persia Timur, pada 1216 M hingga 1218 M terdapat 10 perpustakaan umum. Dua perpustakaan berada di masjid dan sisanya di madrasah.
R Landau dalam bukunya bertajuk Morocco menuturkan di kota Marrakech, kota terbesar ketiga di Maroko, berdiri Masjid Kutubya. Masjid yang dibangun pada era kekuasaan Abd Al-Mumin dari Dinasti Muwahiddun itu sengaja diberi nama Kutubya, karena di sekelilingnya terdapat tak kurang dari 200 buku. Pada masa kekhalifahan, buku menjadi komoditas perdagangan yang menguntungkan di Maroko.
“Bahkan di Spanyol Muslim terdapat 70 perpustakaan umum,” ungkap G Le Bon dalam bukunya berjudul La Civilisation des Arabes. Sejak abad ke-9 M, perpustakaan telah tersebar luas di kota-kota Islam. Di zaman itu, perpustakaan yang megah dan besar juga telah hadir di Kairo, Aleppo, dan kota-kota besar lainnya di Iran, Asia Tengah, dan Mesopotamia.
Para penguasa Muslim yang cinta pada ilmu pengetahuan pun mendirikan perpustakaan pribadi. Jumlah buku yang dikoleksinya pun begitu melimpah. Perpustakaan Mostandir, miliki Sultan Mesir memiliki koleksi tak kurang dari 80 ribu volume. Bahkan, perpustakaan milik Dinasti Fatimiah di Kairo tercatat memiliki satu juta volume buku. Selain itu, perpustakaan milik penguasa Muslim di Tripoli menyimpan koleksi buku hingga mencapai 200 ribu volume.
Sejarah juga mencatat, jumlah perpustakaan umum yang dimiliki penguasa Kekhalifahan Umayyah di Spanyol Muslim, mencapai 70 unit. Selain itu, para ilmuwan dan ulama di kota itu juga memiliki perpustakaan pribadi yang jumlahnya tak terhitung. Tak heran, jika Cordoba, ibu kota pemerintahan Dinasti Umayyah di Spanyol, menjadi pusat ilmu pengetahuan yang sangat pesat.
Pada era kekhalifahan Islam, perpustakaan umum yang tersebar di kota-kota besar memiliki jaringan yang kuat. Saking banyaknya jumlah buku yang disimpan di perpustakaan Muslim, saat Kota Baghdad dihancurkan tentara Mongol dibawah komado Hulagu Khan, sungai-sungai di kota itu berwarna hitam pekat yang berasal dari tinta buku.
Menjamurnya perpustakaan di dunia Islam pada era keemasan telah membuat masyarakat Muslim mampu menguasai dunia. Masa keemasan dunia Islam itu mulai memudar, setelah perpustakaan-perpustakaan besar yang menyimpan koleksi buku-buku bernilai tinggi dihancurkan saat bangsa Mongol melakukan invansi. Di era kolonialisme juga banyak buku penting dari dunia Islam yang ‘dirampok’ dan dibawa para penjajah Barat ke Eropa. (RA-01/Rep)